Thursday, January 20, 2011

Kami dan, Kita

#percakapanEmpat

Aku tadi terburu-buru. Tergesa-gesa. Tergopoh-gopoh. Datang pada saya. Ingin mengadu. Tidak. Ingin mengeluh. Bukan. Ingin berbincang. Iya. Agak sedikit kesal. Tidak. Cukup menghibur. Bukan. Jadi khawatir. Iya.

Katakanlah yang jelas. Saya pada aku. Kenapa mukamu kadang gelap kadang terang seperti lampu dim. Ada yang mengganggu. Atau ada yang mengejek. Ada yang menyindir. ?. Saya jadi sedikit tak sabar.

Tidak, aku cuma masih kurang ilmu. Sepertinya.

Saya berkerut. Tidak mengerti. Kurang ilmu. Tumben kamu haus ilmu. Biasanya haus isu.

Aku merunduk. Tidak. Tidak salah lagi. Aku tidak pernah benar-benar mendalami ilmu resiko.

Ilmu resiko? Saya makin tidak mengerti arah jalur tujuan omongan aku. Apa sebab kamu bisa bilang begitu?

Coba bayangkan. Aku meminta pada saya. Jika kamu berbuat X pada orang lain. Adakah kemungkinan orang lain berbuat X pada kamu?

Saya bengong. Cuma bisa bengong. Kamu berfilosofi apa ngomong. Dalam hati. Iya. Jawab saja sekenanya. Eh. Tunggu. Saya merasa juga ada yang salah dengan aku. Kamu melakukan apa memangnya?

Tidak. Aku pada saya berkata. Hampir kebanyakan dari kita. Melakukannya. Asik memang. Tapi sebenarnya bisa berbeda kenikmatan ketika berbeda peran. Aku lalu memberi tanda supaya saya mengerti.

Hoalah. Perihal itu. Itu sudah maklum dari dahulu. Saya berkomentar. Itu sedikit dosa. Memang. Tapi kalau berbicara dosa. Nanti dikatanya. Pencitraan.

Aku tetap merunduk. Masih merasa tidak nyaman.

Saya merangkul aku. Sudah. Benar kata kamu. Ini cuma resiko. Resiko saling mencicip dan dicicip. Kalau tidak bisa mengurangi. Jangan berbohong. Untuk mengurangi. Jadi orang. Tidak usah palsu-palsu. Kebenaran dan kesalahan tidak bisa jadi satu. Kalau sudah urusan ini. Sebentar. Saya berpikir sebentar. Coba deh. Suruh saya pada aku. Analogikan dengan mencicip daging sapi. Sapi sehat dan bersih pasti enak dagingnya. Kalau begitu. Makan yang cantik saja. Mungkin lezat dagingnya.

Hahaha. Aku tertawa. Analogi yang salah. Bodoh. Tapi pakai analogi yang salah saja lah. Untuk perbuatan yang salah.

Kami terdiam, lalu. Sama-sama melirik bahu kiri kami. Lalu terbahak lagi. Maaf.

1 comment: