Sunday, January 23, 2011

Imajinasi/Fantasi/Fiksi

#percakapanLima

Aku tak bisa lelap. Entah kenapa. Aku sedang kenikmatan. Menikmati garis-garis. Yang tak ada. Titik-titik. Yang semu. Dan gerak-gerik. Yang pelik. Sembari berbaring merentangkan otak sehabis dijejali. Puisi basi.

Saya jadi ikut terbangun. Sedikit menggerutu. Tapi bibir kelu. Otak saya masih menjahit lepasan-lepasan tayangan tadi. Adegan musim semi bercampur musim bunga. Saya membersihkan kesadaran, lalu. Perlahan-lahan. Bertanya, lalu. Saya pada aku. Kenapa kamu?

Aku ingin seperti ini. Mengendalikan khayalan tak berhenti. Meski tamu datang. Bergelombang-gelombang. Berbaur mesra dengan segala tema. Seperti warung kelontong tak kikuk bersaing dengan pasar-pasar hiperbola.

Saya tahu yang dilakukan aku. Tak lebih. Dari menyematkan mahkota pada skenario-skenario maya. Saya sudah dari dahulu. Kami sudah. Maka saya mengerti. Aku sedang kembali. Berimajinasi.

Aku melebur dengan kasur. Sementara saya bersandar. Telah banyak yang aku fantasikan. Angan-angan. Khayalan. Imajinasi. Semua rekaan. Dari segala benda di rumah saya. Beserta sejarahnya. Dari saudara-saudara reka-reka. Beserta ceritanya. Dari segala macam permainan. Yang aku jadikan Olimpiade atau Piala Dunia.

Saya pula. Dari momen-momen ketika makan. Sambil berfantasi edan. Segala perpolitikan. Beserta intriknya. Atau terkadang. Mempublikasikan cerita dalam buku dan komik. Lain waktu memproduseri film-film yang terinspirasi. Luar biasa menyenangkan

Aku dan saya kini sama-sama masuk. Ke ruang yang sama. Membayangkan kami adalah punya sebuah atau beberapa supra. Lalu mengendalikan dunia. Dunia artifisial yang aku dan saya cipta.

Tunggu, aku. Kamu tidak sedang berimajinasi seperti biasanya. Warna atapnya sedikit buram. Seperti baru saja disapu hujan. Agaknya ini negatif. Dari nikmatnya imajinasi.

Aku menjatuhkan tiba-tiba saja. Tiang-tiang khayalan yang memang rentan. Sengaja dirubuh seketika. Khayalan ini terlalu syahdu. Aku terlalu khusyuk. Dan paling kejam. Ketika itu harus dibenturkan dengan. Kenyataan.

Saya paham. Itu pilihan aku. Saya tetap mohon, tapi. Imajinasi sama dengan fantasi. Fantasi sama dengan khayalan. Begitu pula imajinasi sama dengan khayalan. Tapi angan-angan. Itu mimpi yang terus dipaksa diproduksi. Itu fiksi.

Iya. Aku tahu. Tak pernah jadi nyata.

Saya tak bisa memecah kepedihan aku. Saya cuma punya kalimat. Sudahlah. Mari kita seperti biasa. Tak usah peduli realita. Cukup berfantasi semena-mena.

No comments:

Post a Comment