Wednesday, April 9, 2014

Memilih untuk Tidak Hujan


siang sepi
hanya ramai di luar

cuma dengar suara gesekan angin

aku rindu, tapi tak ingin dia tahu

jadi, jangan sampaikan rindu ini padanya

Monday, March 31, 2014

Hujan Alami, Silahkan Menetap di Ruang yang Tak Ingin Disiapkan


Selalu ada guru dalam waktu yang memutar-mutar
Dalam hitungan malam, hujan yang lelah jadi simbol kelar.

Dan selalu ada buronan yang hukumannya tak nyata
Lebih palung dari kenyataannya
Maka lebih baik kini tanpa pledoi
Guillotine akhirnya jatuh oleh gravitasi.

Kali ini memang diharuskan mundur
Tak perlu meniru siapa pun
Akses memori masih tak ingin dikubur

Tidak mudah memang
Tahi kucing jika bisa melaluinya dengan dingin
Darah pasti ada
Berkali-kali bukan berarti kebal

Tapi kali ini, Tuhan
Aku ingin melawan
Bukan demi Engkau, bukan juga demi hujan
Tapi permainan di masa depan yang masih Kau simpan

Hujan, maaf kali ini kita benar-benar tak bisa menari lagi bersama
Kita bukan jadi musim panas, memang
Hujanmu makin deras, aku hanya tak pantas
Aku undur diri, sudah layaknya hati berkemas meski lemas


NB: antara Sabtu Malam, 8 September 2013 dan  Sabtu Malam, 29 Maret 2014

Monday, June 3, 2013

Bukan Pledoi Musim Hitam


Tak ada cairan kornea kali ini memang, atau belum.
Mungkin sudah lelah bekerja, mungkin terperas terlalu sering.

Tapi ada yang gila sekarang, ketika tiba-tiba memutuskan
dengan emosi berpura peran jadi Darth Vader.

Tidak biasa, tidak bisa. Tapi sudah kadung.

Kali ini tidak berlinang atau bersikap kekanak-kanakan, atau belum.
Tapi iya, ini terasa sangat hampa, terasa sangat salah.

Saya lembah hitam. Tidak bisa disangkal.

Silahkan caci maki. Silahkan benci, hujan.
Silahkan jika sampai kematian.
Saya memang tidak pantas dimaafkan.




Saturday, October 13, 2012

Bayi Lahir Terlilit Tali Pusar


Partitur-partitur ilalang baiknya kukumpulkan
mesin-mesin kipas angin harusnya aku pilah
sebab, mi rebus dan goreng lah 
satu-satunya kenikmatan proses instan
maka terima kasih Laila Majnun dan Kahlil Gibran
warisan kalian ternyata melelahkan

Aku Echius! maka larilah seperti Pheidippides
amat panjang melelahkan tapi bertujuan
dan berjiwalah seperti Asclepios!

Lampu merah berganti hijau
Sudah saatnya ganti persneling maju
Semua masa lalu
Simpan saja di peti kayu.

Monday, October 1, 2012

Tragedi Cuma-Cuma


Percuma dibilang jenius,
               otaknya mesum terus

Percuma banyak ibadat
               nekat tetap bermaksiat

Percuma ingin pacar
               tubuh yang diincar

Percuma mengaku jatuh cinta
              macam-macam mintanya

Percuma main hati
              hanya untuk alibi

Percuma banyak kebaikan
               ujungnya tetap kekurang-ajaran

Percuma penyesalan.
Kamunya sudah mau jauh pergi.


Sunday, September 30, 2012

Teater 31 September



Titik.
Akhirnya berujung, setelah semua semu dan palsu terkunci rapat.

Nadir.
Jatuhnya terjun deras, setelah wangi dan lemak dipaksa dibangun.

Dia telah dimakan bayangannya. Tembok yang terlampau tebal.
Lalat pandir mesum yang jumawa menganggapnya kabut sutra.
Dia terseret. Sini terjungkir. Matang dan kertas tak mungkin beradu tangis. 

Hadiah. Ego. Lampion. Deretan. Anestesi. 
Air. Maskara. Arca. Liliput. Integral. Angkuh!
Percuma berbasa-basi dan mengemis-ngemis. Belum siap tak sama dengan usaha.  
Ikut mengacau pula: si dungu yang percaya diri akan nafsunya.

Aku masih sama ternyata. Masih sama kalahnya. Kalah karena kebodohan. Kalah karena kebesar-kepalaan. 
"Fabi ayyi ala irabbikuma tukadzdziban".
Hotline Tuhan tidak lagi tersambung. 
Malah teregistrasi jadi manusia penuh penyesalan.

Si naif ini bisa apa?! Dihadapkan dengan taksi jalan sepi. Sandaran dia jelas cuma satu. Masa lalu.
Hoo, dia punya minum siap saji. Taruh di kulkas. Siap kapan pun ia pingini. Aku kalah saing masuk kulkas. Terpelanting masuk selokan. Naif, kan?

Si buruk ini bisa apa?! Dipertandingkan dengan alibi digital masa kini. Pepohonan yang dia tanam jelas bercabang seribu. Meski klaimnya akar tunggang, satu.
Hoo, dia selagi di taman bermain. Pilah sana pilih sini. Sesuka otak mencicipi. Aku kalah bagus jadi mainan. Malah membahayakan. Buruk, kan?

Robek. 
"Semenit lalu orang itu saya sangka baik. Satu tarikan nafas berikut, saya yakin saya selamat dari kebrengsekan", cerita dia suatu nanti pada sandarannya. Satu-satunya yang terpercaya. Lagi-lagi perbandingan yang kalah.

Aku bisa apa?!
Aku cuma pemahat.
Dia jelas penimbang.
Penyesalan terlampau kadaluarsa.
Salah bisa apa?!
Salah tak bisa disalahkan. Tak mau.
Lelah pakai template undur diri. Undur hati.

Satu tak lagi bicara. Dua enggan disapa. Kini harus dibikin yang ketiga. Entah harus dipahat seperti apa. Dikubur atau dipajang dimana. Pahatan ketiga. Satu statu hati lagi. Dipaksa mati.

Tuesday, September 11, 2012

FTV 27 Hari


Kotak-kotak tembakau cuma jadi pajangan
edamame-nya tak lagi ada tersimpan
pun pemantik berwarna hijau neon stabilo masih terbengkalai dibeli
si Shisanaga dalam perjalanan cuma telah hilang
sia-sia sisa ceria berubah paranoid
ekspektasi nomor provider baru cuma hancur kacau
berkat impuls hormonal seorang pandir berlagak anti Pinocchio

Bagian mana yang dipersiapkan dari main-main
drama kekalahan dipelintir jadi kepastian
dan sesenggukan mana lagi yang dibohongi jantung
intimasi seketika, menyamarkan perpisahan

Iya, kereta secepat ICE cuma tak mungkin 
bermain di kedalaman Esa Ala Cave
Tapi bagaimana disanggah
kalau kini di pembuluh darah
malah terlanjur mengalir: L.A.D.E alamiah