Sunday, September 30, 2012

Teater 31 September



Titik.
Akhirnya berujung, setelah semua semu dan palsu terkunci rapat.

Nadir.
Jatuhnya terjun deras, setelah wangi dan lemak dipaksa dibangun.

Dia telah dimakan bayangannya. Tembok yang terlampau tebal.
Lalat pandir mesum yang jumawa menganggapnya kabut sutra.
Dia terseret. Sini terjungkir. Matang dan kertas tak mungkin beradu tangis. 

Hadiah. Ego. Lampion. Deretan. Anestesi. 
Air. Maskara. Arca. Liliput. Integral. Angkuh!
Percuma berbasa-basi dan mengemis-ngemis. Belum siap tak sama dengan usaha.  
Ikut mengacau pula: si dungu yang percaya diri akan nafsunya.

Aku masih sama ternyata. Masih sama kalahnya. Kalah karena kebodohan. Kalah karena kebesar-kepalaan. 
"Fabi ayyi ala irabbikuma tukadzdziban".
Hotline Tuhan tidak lagi tersambung. 
Malah teregistrasi jadi manusia penuh penyesalan.

Si naif ini bisa apa?! Dihadapkan dengan taksi jalan sepi. Sandaran dia jelas cuma satu. Masa lalu.
Hoo, dia punya minum siap saji. Taruh di kulkas. Siap kapan pun ia pingini. Aku kalah saing masuk kulkas. Terpelanting masuk selokan. Naif, kan?

Si buruk ini bisa apa?! Dipertandingkan dengan alibi digital masa kini. Pepohonan yang dia tanam jelas bercabang seribu. Meski klaimnya akar tunggang, satu.
Hoo, dia selagi di taman bermain. Pilah sana pilih sini. Sesuka otak mencicipi. Aku kalah bagus jadi mainan. Malah membahayakan. Buruk, kan?

Robek. 
"Semenit lalu orang itu saya sangka baik. Satu tarikan nafas berikut, saya yakin saya selamat dari kebrengsekan", cerita dia suatu nanti pada sandarannya. Satu-satunya yang terpercaya. Lagi-lagi perbandingan yang kalah.

Aku bisa apa?!
Aku cuma pemahat.
Dia jelas penimbang.
Penyesalan terlampau kadaluarsa.
Salah bisa apa?!
Salah tak bisa disalahkan. Tak mau.
Lelah pakai template undur diri. Undur hati.

Satu tak lagi bicara. Dua enggan disapa. Kini harus dibikin yang ketiga. Entah harus dipahat seperti apa. Dikubur atau dipajang dimana. Pahatan ketiga. Satu statu hati lagi. Dipaksa mati.

No comments:

Post a Comment