Monday, January 24, 2011

Ibadah Umat Uang

#percakapanTujuh

Aku merasa kikuk. Meski aku paham betul. Baru saja masuk. Rasa-rasanya seperti dipaksa. Jadi semut. Semut pekerja.

Saya jadi ingin pula. Tiba-tiba. Bersila di atas kereta. Diserang angin-angin setan. Diteror setrum-setrum kejam. Tak peduli. Bebas nekat. Tak mau terikat. Tapi. Dengan tanda tanya besar. Kamu bisa apa? Tanpa benda dewa itu.

Aku menarik paksa. Merenggut akal saya. Aku ketik, lalu. Di atas relief-relief elektronik. Ingin mengukuhkan. Bahwa akan berpuluh-puluh waktu. Dihabiskan untuk berburu. Alat surga itu.

Saya bersikukuh kali ini. Kamu tahu apa tentang dunia? Dengan tanda tanya tak kalah besarnya. Masih lah beruntung. Kami tetap bisa terjebak. Ada yang terpental. Oleh medan pendikte milyaran orang ini.

Aku tetap tak jernih pikir, lalu. Kenapa tidak sekalian uang diciptakan Tuhan. Jadi makhluk. Jadi rukun agama yang kesekian. Biar jadi iman yang universal. Padahal sudah.

Saya lelah, lalu. Bukan tidak ingin beradu debat. Uang tak pantas jadi ciptaan. Tak layak pula diTuhankan. Uang memang segalanya. Di dunia. Cuma di dunia. Tapi inilah dunia. Kamu bagiannya. Maka kamu adalah uang itu. Medium bertukarnya perasan-perasan tenaga dan waktu.

Kami serempak pasrah. Akhirnya. Bergerundel berbarengan. Terpujilah dan terkutuklah bersamaan. Sang pembuat sistem kerja. Siapapun itu. Masa apapun.

Sunday, January 23, 2011

Kalos, Eidos, Skopos

#percakapanEnam

Saya senang dengan indah. Hal keren. Estetis. Unik. Dan berseni.

Aku sudah dari dahulu. Suka graffiti. Desain grafis pun, kini. Lukisan. Dan foto-foto. Dan lain-lain. Bukan berbakat memang. Cuma kecanduan. Tapi dari hati benar. Mengagumi.

Saya benar bersependapat. Dunia ini sudah jadi seni. Seni ciptaan-Nya. Maka segala hal di dunia. Otomatis seni.

Aku kesenangan. Mari saling sebut apa saja yang bisa indah dan berseni.

Saya memulai. Dari seni mencuri. Sampai seni ber-reproduksi. Seni mengagumi diam-diam. Sampai seni kepengecutan.

Aku menimpali. Dari seni berburu. Sampai seni cemburu. Dari seni membuat makanan. Sampai seni menghajar rahang orang. Dari seni mencela. Sampai seni tak terhingga.

Saya mengakhiri. Seni tak ada habisnya. Begitu banyak hal yang bisa disenikan. Maka artinya tiga kata: indah, bentuk, melihat. Saya bercita-cita. Jadi kaleidoskop. Instrumen yang mampu membuat kami menyaksikan hal. Apapun yang berbentuk indah.

Aku juga mau. Ingin aku berkutip. Anything is art. Termasuk dia. Makanya aku suka.

Imajinasi/Fantasi/Fiksi

#percakapanLima

Aku tak bisa lelap. Entah kenapa. Aku sedang kenikmatan. Menikmati garis-garis. Yang tak ada. Titik-titik. Yang semu. Dan gerak-gerik. Yang pelik. Sembari berbaring merentangkan otak sehabis dijejali. Puisi basi.

Saya jadi ikut terbangun. Sedikit menggerutu. Tapi bibir kelu. Otak saya masih menjahit lepasan-lepasan tayangan tadi. Adegan musim semi bercampur musim bunga. Saya membersihkan kesadaran, lalu. Perlahan-lahan. Bertanya, lalu. Saya pada aku. Kenapa kamu?

Aku ingin seperti ini. Mengendalikan khayalan tak berhenti. Meski tamu datang. Bergelombang-gelombang. Berbaur mesra dengan segala tema. Seperti warung kelontong tak kikuk bersaing dengan pasar-pasar hiperbola.

Saya tahu yang dilakukan aku. Tak lebih. Dari menyematkan mahkota pada skenario-skenario maya. Saya sudah dari dahulu. Kami sudah. Maka saya mengerti. Aku sedang kembali. Berimajinasi.

Aku melebur dengan kasur. Sementara saya bersandar. Telah banyak yang aku fantasikan. Angan-angan. Khayalan. Imajinasi. Semua rekaan. Dari segala benda di rumah saya. Beserta sejarahnya. Dari saudara-saudara reka-reka. Beserta ceritanya. Dari segala macam permainan. Yang aku jadikan Olimpiade atau Piala Dunia.

Saya pula. Dari momen-momen ketika makan. Sambil berfantasi edan. Segala perpolitikan. Beserta intriknya. Atau terkadang. Mempublikasikan cerita dalam buku dan komik. Lain waktu memproduseri film-film yang terinspirasi. Luar biasa menyenangkan

Aku dan saya kini sama-sama masuk. Ke ruang yang sama. Membayangkan kami adalah punya sebuah atau beberapa supra. Lalu mengendalikan dunia. Dunia artifisial yang aku dan saya cipta.

Tunggu, aku. Kamu tidak sedang berimajinasi seperti biasanya. Warna atapnya sedikit buram. Seperti baru saja disapu hujan. Agaknya ini negatif. Dari nikmatnya imajinasi.

Aku menjatuhkan tiba-tiba saja. Tiang-tiang khayalan yang memang rentan. Sengaja dirubuh seketika. Khayalan ini terlalu syahdu. Aku terlalu khusyuk. Dan paling kejam. Ketika itu harus dibenturkan dengan. Kenyataan.

Saya paham. Itu pilihan aku. Saya tetap mohon, tapi. Imajinasi sama dengan fantasi. Fantasi sama dengan khayalan. Begitu pula imajinasi sama dengan khayalan. Tapi angan-angan. Itu mimpi yang terus dipaksa diproduksi. Itu fiksi.

Iya. Aku tahu. Tak pernah jadi nyata.

Saya tak bisa memecah kepedihan aku. Saya cuma punya kalimat. Sudahlah. Mari kita seperti biasa. Tak usah peduli realita. Cukup berfantasi semena-mena.

Thursday, January 20, 2011

Kami dan, Kita

#percakapanEmpat

Aku tadi terburu-buru. Tergesa-gesa. Tergopoh-gopoh. Datang pada saya. Ingin mengadu. Tidak. Ingin mengeluh. Bukan. Ingin berbincang. Iya. Agak sedikit kesal. Tidak. Cukup menghibur. Bukan. Jadi khawatir. Iya.

Katakanlah yang jelas. Saya pada aku. Kenapa mukamu kadang gelap kadang terang seperti lampu dim. Ada yang mengganggu. Atau ada yang mengejek. Ada yang menyindir. ?. Saya jadi sedikit tak sabar.

Tidak, aku cuma masih kurang ilmu. Sepertinya.

Saya berkerut. Tidak mengerti. Kurang ilmu. Tumben kamu haus ilmu. Biasanya haus isu.

Aku merunduk. Tidak. Tidak salah lagi. Aku tidak pernah benar-benar mendalami ilmu resiko.

Ilmu resiko? Saya makin tidak mengerti arah jalur tujuan omongan aku. Apa sebab kamu bisa bilang begitu?

Coba bayangkan. Aku meminta pada saya. Jika kamu berbuat X pada orang lain. Adakah kemungkinan orang lain berbuat X pada kamu?

Saya bengong. Cuma bisa bengong. Kamu berfilosofi apa ngomong. Dalam hati. Iya. Jawab saja sekenanya. Eh. Tunggu. Saya merasa juga ada yang salah dengan aku. Kamu melakukan apa memangnya?

Tidak. Aku pada saya berkata. Hampir kebanyakan dari kita. Melakukannya. Asik memang. Tapi sebenarnya bisa berbeda kenikmatan ketika berbeda peran. Aku lalu memberi tanda supaya saya mengerti.

Hoalah. Perihal itu. Itu sudah maklum dari dahulu. Saya berkomentar. Itu sedikit dosa. Memang. Tapi kalau berbicara dosa. Nanti dikatanya. Pencitraan.

Aku tetap merunduk. Masih merasa tidak nyaman.

Saya merangkul aku. Sudah. Benar kata kamu. Ini cuma resiko. Resiko saling mencicip dan dicicip. Kalau tidak bisa mengurangi. Jangan berbohong. Untuk mengurangi. Jadi orang. Tidak usah palsu-palsu. Kebenaran dan kesalahan tidak bisa jadi satu. Kalau sudah urusan ini. Sebentar. Saya berpikir sebentar. Coba deh. Suruh saya pada aku. Analogikan dengan mencicip daging sapi. Sapi sehat dan bersih pasti enak dagingnya. Kalau begitu. Makan yang cantik saja. Mungkin lezat dagingnya.

Hahaha. Aku tertawa. Analogi yang salah. Bodoh. Tapi pakai analogi yang salah saja lah. Untuk perbuatan yang salah.

Kami terdiam, lalu. Sama-sama melirik bahu kiri kami. Lalu terbahak lagi. Maaf.

Judul Tesis

#percakapanTiga

Membuat skripsi lebih enak daripada mencari pacar. Aku tiba-tiba berkata demikian. Di tengah-tengah antrian busway yang ramay. Bersekolah lebih asik daripada mencari uang. Aku lanjut bergumam. Sudah sejam. Bus orens atau dan abu-abu tak datang-datang.

Saya. Masih asik mendengar musik. Agak tidak peduli sebetulnya dengan yang aku katakan. Tapi jadi kepikiran. Kenapa sih aku? Saya jadi khawatir. Jangan-jangan aku sedang getir, pikirannya. Kenapa sih kamu?

Aku terkesiap. Dikagetkan saya. Aku langsung mengubah raut wajah. Sumringah. Tidak apa-apa. Aku cuma punya cita-cita. S2.

Saya tak serta merta percaya. Ada yang aku sembunyikan dari saya. Dia terlihat sedang berkecamuk. Mungkin hatinya remuk. Atau fisiknya jenuh saja. Tapi. Saya tanya lagi. Kamu galau?

Huahahahaha, aku tertawa. Galau itu teman-temanku. Aku tidak. Menyangkal padahal benar. Tapi jadi terpikir. Galau akhir-akhir ini begitu jadi wacana. Mungkin bisa aku usulkan jadi tesis S2 Jurusan Ilmu Kehidupan. Jika bisa.

Saya ikut tertawa. Kamu kumatnya sedang kumat. Anehnya lagi aneh. Kalau saya boleh bilang. Galau itu sebabnya cuma. Kesepian. Patah hati. Kebingungan. Dites saja lah mana yang jadi variabel dependen. Independen. Atau intervening. Macam-macam sebenarnya kata pakar-pakar galau, di jurnal T. Galau itu sudah ada dari dahulu. Galau itu candu. Galau itu beda dengan galaku. Galau itu menular. Jurnal T sendiri adalah jurnal tempat diskusi-diskusi dan tesis-tesis galau berlalu-lalang.

Aku langsung senang. Galau bukan cuma aku. Aku tak sendirian. Tapi untuk jadi penelitian, rasanya judul di atas harus aku ubah. Tapi entah aku tak tahu. Hey, saya. Kamu tahu tidak apa yang salah di judul itu?

Saya menyahut cepat. Tidak. Kan yang galau bukan aku. Tapi kamu.

Oke. Proposal ditolak kalau begitu. Aku cuma senang berkutat dengan skripsi-skripsi. Takut dikira sombong memang. Tapi kalau itu menyenangkan. Ya menyenangkan. Proposal tetap ditolak. Tidak usah diteliti. Cukup dinikmati. Padahal sudah ingin aku tulis.

Faktor-Faktor yang Menyebabkan Kegalauan pada Mahasiswa yang Telah Lulus: Studi Ekslusif pada Kami dan Beberapa Temannya di Kota Jakarta selama Januari 2011.

Proposal jelas ditolak.

Saya sudah harus bertemu halte lain. Aku sudah harus bertemu hari dan minggu lain.

Bohong Diam-Diam

#percakapanDua

Saya dan aku. Kami Gemini. Malas berpindah rasi. Iya kami tahu itu cuma konstruksi. Pendahulu-pendahulu kami.

Ada apa. Kami mau ngomong apa. Saya dan aku saling menyengir satu sama lain. Saling adu senyum trapesium. Kalo saya, lebih senang menyebutnya trapezmile. Kalo aku, lebih suka mengatakannya senyum trapezium. Ah, bodoh. Sama saja. Kami adu cengiran sekarang.

Heh, mari mulai. Aku sudah tak sabar sepertinya. Kamu mau bawa gosip apa lagi? Aku heran bulan satu ini sudah banyak kabar-sindiran-diskusi-celaan-kehebohan-danlainlain. Belum genap minggu ketiga.

Saya hanya geleng-geleng. Ternyata aku doyan hal-hal semacam itu. Yah, tidak usah dicari. Nanti pun datang sendiri. Tidak usah dibuat. Nanti juga keluar di saat yang tepat.

Aku kini angguk-angguk. Ya sudah. Padahal, lumayan jadi terdistorsi. Ups.

Saya memicingkan mata ke aku. Kamu terdistorsi apa? Apa yang terdistorsi? Kamu terdistorsi apa? Apa yang terdistorsi? Langsung mencecar penasaran.

Aku langsung kabur.

Saya pamer senyum sekarang. Tidak sampai trapesium. Cukup segaris tipis.

Kami memang malu-malu tapi.

Bermulai Bertigaratusenampuluhlimaan

#percakapanSatu

Saya tergoda akan sebuah percakapan. Sayup-sayup yang makin lama makin nyaring. Bukannya saya tak kenal mereka. Mereka pun kenal saya. Tapi mereka beda. Mereka punya jiwa dalam setiap percakapannya. Dalam setiap kata-kata yang bertransformasi jadi pendapat berani. Saya tidak bisa tidak tergoda.

Aku bertanya pada saya, lalu. Kamu tidak minder dengan mereka? Mereka hebat, mereka kuat, mereka berniat. Mereka sudah jauh. Lalu kamu?

Saya dengan segan menimpali. Saya tak takut, saya tak perlu meniru, saya tak kalah bertekad. Mereka hanya lebih puluhan di depan saya. Saya masih punya waktu mengejar dan bisa.

Aku berucap sinis pada saya, lagi-lagi. Hoooo, jadi tujuanmu hanya sebatas jumlah? Hanya ingin berkompetisi pada angka-angka?

Tidak. Saya pada aku, tegas. Saya bermulai bukan karena ingin jadi bagian dari mereka. Saya ingin bercakap lepas, tanpa batas. Bagi saya, ini bisa jadi percakapan harian antara saya dan aku.

Ini baru tanggal 20. Belum terlambat. Mari kami berdiskusi. Kali ini, aku setuju pada saya.

NotaBene: Saya sedikit bercanda pada aku, bagaimana dengan tahun barumu kemarin? Hush, kataku.

Monday, January 3, 2011

Cantik Tanpa Gravitasi



aku tak berlari
pada ia

ia
tak pula
rencana ujung berlariku

aku sedang biasa
lalu muncul saja
lembut seperti angin
silau seperti cahaya
bergradasi seperti warni

ini seperti dikerjai olehNya
dan aku tak pernah ingin meminta ampun
untuk yang satu ini.